Pertanyaan:
Bolehkah para penuntut ilmu agama memberi fatwa kepada orang yang meminta fatwa kepada mereka? Lalu, apa taklid yang diperbolehkan dan yang tercela? Bolehkah keluar dari Mazhab Hanbali ke Mazhab Maliki dalam sejumlah masalah? Bagaimana caranya?
Jawaban:
Pertama
Jika di negara tersebut terdapat ulama sebagai tempat rujukan orang-orang maka bukan hak penuntut ilmu untuk memberi fatwa, meskipun dia telah menyelesaikan satu marhalah (tahapan) dalam menuntut ilmu, karena dia belum cukup ilmu untuk itu.
Adapun dalam kondisi darurat, yang disebabkan tidak ada ulama untuk dimintai fatwa di negeri tersebut, sedangkan masalahnya harus segera diselesaikan, maka dia (seorang penuntut ilmu) boleh memberi fatwa sesuai ilmu dengan yang diketahuinya dari pendapat-pendapat ulama. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah semaksimal kesanggupanmu.” (Q.S. At-Taghabun:16)
Kedua
Adapun tentang taklid yang diperbolehkan maka (hal) itu adalah untuk orang-orang yang sangat awam, yang jika dia tidak taklid, maka dia akan tersesat. Allah Al-Maula subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (Q.S. An-Nahl:43)
Taklid itu tidak dilakukan kepada sembarang orang, kecuali kepada orang yang berilmu dan wara’.
Adapun taklid yang tercela ialah taklid yang dilakukan oleh orang yang memiliki kemampuan untuk mengetahui hukum. Dia wajib mencari kebenaran beserta dalilnya, karena dia mampu untuk itu. Dalam ayat ke-43, surat An-Nahl di atas, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya), “Jika kamu tidak mengetahui.” Artinya, seseorang yang memiliki ilmu tidak boleh taklid, bahkan dia berkewajiban mencari hukum sesuai dengan usaha dan kemampuannya. Dia tidak boleh bertaklid kepada seorang pun dalam hal itu.
Ketiga
Mazhab Hanbali dan selainnya tidak pernah mengharuskan seseorang untuk mengambil segala pendapat yang ada dalam mazhab tersebut, baik yang benar maupun yang salah. Akan tetapi, seseorang berkewajiban mengambil segala pendapat yang dalil, baik itu yang ada dalam Mazhab Imam Ahmad atau Malik (atau pun selainnya). Orang yang mengetahui dalil dan tarjih (cara menentukan pendapat yang dalil yang paling kuat di antara pendapat-pendapat yang ada, ed.), maka dia tidak boleh merasa cukup dengan membatasi diri hanya mengambil pendapat-pendapat imam tertentu saja. Bahkan, ia wajib untuk memilih pendapat yang didukung dalil, dan tanggungannya hanya bisa lepas dengan cara seperti itu.
Adapun orang yang tidak mampu–dan yang seperti ini merupakan kondisi darurat–maka dia boleh beramal sesuai ilmu dan pengetahuannya. Jika dia mendapatkan orang yang berilmu dan wara’ yang dapat dimintai fatwa, hendaknya dia menanyakannya, sehingga dia tidak terus-menerus berada dalam kondisi “kurang ilmu”.
Sumber: Majalah As-Sunnah, edisi 3, tahun IX, 1426 H/2005 M. Disertai penyuntingan bahasa oleh redaksi www.KonsultasiSyariah.com.
Artikel www.KonsultasiSyariah.com
🔍 Saham Menurut Islam, Tato Rambut, Materi Kultum Ramadhan Terbaik, Hukum Menikahi Wanita Hamil, Silsilah Syekh Nawawi Al Bantani, Cara Menjama Shalat